Persawahan Desa Plono Pagerharjo Samigaluh Kulon |
Catatan Live-in
SMA Kanaan baru saja selesai
menyelenggarakan salah satu kegiatan tahunan mereka, yaitu live-in anak kelas
11 yang dimulai dari tanggal 27 April 2018 hingga 2 Mei 2018 di Desa Plono
Pagerharjo Samigaluh Kulon. Sebagai salah satu peserta live-in, ada banyak hal
yang ingin saya bagikan selama hidup di tengah masyarakat desa, salah satunya
adalah tentang kesederhanaan mereka.
Warga Desa
Plono memang tidak hidup dalam ketertinggalan jaman. Berbagai infrastruktur dan
fasilitas yang sudah maju membuat saya menarik kesimpulan demikian. Meski
keseharian mereka belum semodern di kota, saya berhasil menemukan sesuatu yang
luar biasa setelah hidup 4 hari bersama mereka.
Kesenian Karawitan yang tak pudar dimakan jaman |
Kesederhanaan
itu canggih.
Kesederhanaan
tak butuh minyak sebagai bahan bakar untuk berjalan. Barisan warga berderet di
sepanjang jalan menuju Gereja di hari kami akhirnya menginjakkan kaki di Desa
Plono setelah 20 jam perjalanan. Senyum lebar menghiasi mulut mereka, sembari
mereka menyapa dan menyalami kami dengan sukacita. Bukan beban yang nampak di
wajah mereka, melainkan kegembiraan dan hati penuh debar ketika kami masuk ke
rumahnya. Tak besar yang mereka sajikan pada kami, hanya segelas teh manis
hangat setelah perjalanan yang panjang. Apakah itu menyurutkan semangat saya?
Atau malah membuat saya terharu?
Berjalan
kaki bolak-balik ke Pasar Samigaluh, melewati terjalnya medan, tak ada keluh
kesah yang keluar dari mulut orang tua asuh saya, tetapi sapaan dan obrolan
ringan lah yang ia lontarkan pada sekitar 20 orang yang berpapasan dengan kami.
Mulai dari penjual buah, penjaga toko kelontong, penjual sayur, anak SD,
penjaja kue, hingga ibu-ibu pasar yang tak sungkan merangkul. Banyak dari
mereka yang mencoba mencari tahu tentang kegiatan live-in kami, tentang
bagaimana kehidupan di Jakarta, sejauh apakah perbedaannya. Awalnya, saya pikir
mereka akan memandang orang kota dengan setengah mata, sama seperti kebanyakan orang
kota yang memandang rendah orang desa. Ternyata, mereka mengungkapkan bahwa
mereka senang dengan kehadiran kami di sini dan berharap kami dapat mengunjungi
mereka lagi setelah ini.
Suasana Pasar Samigaluh |
Kesederhanaan
tak butuh gadget atau internet untuk
berjalan. Namun, ia mampu menyatukan penduduk desa menjadi satu kesatuan yang
solid. Jarak antara rumah yang berjauhan tidak menghentikan mereka membangun
relasi kekerabatan. Antar pintu saling mengenal satu sama lain. Bertegur sapa,
bertukar senyum, melambaikan tangan. Hubungan darah tak menjadi penentu keramahan
di sini. Baik saudara, warga desa, warga kota, semuanya berbaur menjadi satu
hati tanpa memandang latar belakang.
Kesederhanaan
tak butuh harta, kekayaan, maupun tahta untuk berjalan. Hidup di tengah
multikulturalisme menjadi dorongan warga untuk mengembangkan sikap toleransi. Di
sini Gereja Kristen, di sana berdiri Masjid, di ujung ada Gereja Katolik. Dengan
begitu sederhananya, mereka saling mengasihi. Bagi mereka, agama dan budaya
bukanlah alat untuk menyerang satu sama lain. Bagi mereka, agama dan budaya adalah
berkat untuk membina kebersamaan. Bagi mereka, perpecahan di atas keberagaman
itu kuno, sedangkan perdamaian dan kerukunan antar sesama itu lebih keren.
GKJ Plono, tempat ibadah yang dipinjamkan untuk kami |
Sangatlah
menginspirasi untuk mengetahui bagaimana sesuatu sepele seperti ‘kesederhanaan’
mampu berbuat banyak bagi manusia, lebih dari yang teknologi-teknologi mutakhir
itu mampu lakukan. Sebuah garis tipis yang memisahkan desa dan kota ialah bahwa
orang kota terlalu terpaku pada kesibukan mereka hingga seringkali mereka lupa
untuk menikmati hal-hal kecil di sekitar mereka. Mereka selalu memperhatikan
hal-hal rumit, lalu berusaha menyimpulkannya, tak sadar bahwa jawabannya jelas
berada di depan mata. Isu-isu SARA terus diperdebatkan dari tahun ke tahun,
namun tak kunjung juga sampai pada penyelesaian. Pernahkah mereka berpikir
untuk belajar dari orang desa yang pola pikirnya sederhana tapi dalam?
Mengapa
harus hidup dalam perselisihan, ketika Indonesia sudah merdeka?
Mengapa
harus berseteru, ketika kita dapat hidup sambil bergandengan tangan?
Comments
Post a Comment