Haii, sobat-sobat cerdas (⌒▽⌒)♡ |
Kali ini, saya akan berbagi kesan pesan saya terhadap satu
film romantis nan klasik garapan sutradara Faozan Rizal yang menceritakan
tentang kisah dan perjuangan anak bangsa kita yang sekarang menjadi mantan
presiden ketiga Indonesia. Yup, siapa lagi kalau bukan Profesor Bacharuddin
Jusuf Habibie, si jenius yang rela meninggalkan Jerman demi mengabdi di tanah
airnya.
Film berdurasi 118 menit ini menjadi pilihan saya ketika
disuruh mengulas sebuah film dalam negeri yang bersifat etnografi. Nyatanya,
film ini bukan tentang kedaerahan sama sekali (hehe) walaupun memang nampak ada
budaya Jawa yang kental di dalamnya. Entah mengapa diperbolehkan, saya yang
moodnya lagi kepengen nonton film baper akhirnya beneran nonton film ini
meskipun sudah tahu endingnya sekalipun.
Hasilnya? Film ini bukan cuma sekedar film baper. Kisah
cintanya sebenarnya lebih dalam dari yang tersurat.
Dikemas dengan komedi yang segar dan gombalan klasik, film
ini membawa penonton ke masa-masa tahun 60-an, tepatnya ketika Habibie bertemu
dengan teman masa kecilnya, Ainun, yang dulu ia pernah ejek 'gula jawa.' Ya
tapi segelap-gelapnya gula jawa, manisnya tetap natural kan yah? Begitu mereka
dipertemukan lagi di rumahnya Ainun bertahun-tahun kemudian, di saat itulah
Habibie jatuh cinta pada Ainun. "Rupanya gula jawa telah berubah menjadi
gula pasir," begitu katanya. Cie elahh.
Pelajaran pertama yang saya ambil adalah bahwa cinta itu gak
butuh duit buat jalan. Cinta itu sederhana, mengalir begitu aja. Saya sempat
terkikik saat Habibie melamar Ainun di dalam becak yang mereka naiki. Gak butuh
bunga ataupun mobil BMW, Habibie merebut hati si dokter manis Ainun begitu saja
dengan ketulusannya.
Pelajaran kedua yang tak kalah penting adalah bahwa
kesetiaan itu nyata. Selama ini saya selalu berpikir bahwa perasaan cinta itu
hanya ada saat awal hubungan saja. Setelahnya, perasaan tersebut akan memudar
dan kita akan dihadapkan pada suatu pilihan; lanjut atau selesai. Karena itu,
dalam pikiran saya, cinta itu cuma pilihan. Berkontradiksi dengan apa yang saya
percayai, film ini berhasil mengubah mindset saya tentang cinta. Ternyata ada
loh pasangan yang tetap mesra dan romantis setelah 48 tahun pernikahan.
Tentunya 48 tahun yang dilewati bersama itu bukan sekedar lautan tenang tanpa
badai. Dari perjuangan mereka hidup di Jerman dengan uang seadanya, Habibie
dipanggil pulang ke Indonesia untuk mengabdi setelah sempat ditolak, hingga
perjuangan keras Habibie dalam membuat pesawat pertama Indonesia N250 yang
akhirnya terbang perdana pada 10 Agustus 1995, pengangkatannya menjadi Menteri
Riset & Teknologi lalu wakil presiden ketujuh, hingga menduduki kursi
presiden ketiga Indonesia. Habibie diangkat menjadi presiden menggantikan
Soeharto di saat yang paling gak tepat, yaitu saat krisis moneter dan krisis
kepercayaan melanda masyarakat tahun 1998 lalu. Ia dipaksa untuk berpikir dari
pagi hingga semalaman suntuk bergadang demi mencari jalan keluarnya. Semua itu
dilewatinya tak seorang diri. Sang isteri lah yang mendampingi terus langkah
Habibie dari awal hingga akhir. Selalu ada kecupan manis di dahi mewarnai kisah
mereka di kala suka maupun duka. Balik lagi ke pelajaran pertama saya, cinta
itu mengalir begitu saja.
Pelajaran ketiga, saya akhirnya sadar mengapa banyak orang
Indonesia yang sekolah di luar negeri lalu malah menetap di sana dan tak mau
balik. Mengapa mereka meninggalkan Indonesia, mengapa mereka tidak mau mengabdi
untuk negeri sendiri, jawabannya sederhana saja; di sini mereka tidak dihargai.
Habibie yang mati-matian menyelesaikan studi S2 dan S3 nya di Jerman, ketika
mengajukan permohonan kerja di Indonesia malah ditolak. Beberapa tahun kemudian
ia disindir karena tak malu bekerja di negeri orang, negeri sendiri tak diurus.
Ketika memutuskan untuk pulang untuk membangun Indonesia lewat pembuatan
pesawat N250, Habibie tidak dipercaya untuk mampu menyelesaikannya. Kalaupun
berhasil terbang, pasti di tengah jalan langsung jatuh! Saat menjabat sebagai
presiden, pers terus-terusan mengompori dan menjelek-jelekkan namanya. Miris,
memang. Scene di mana Habibie dan Ainun kembali untuk melihat pesawat N250 yang
terparkir hingga berdebu itu yang membuat saya paling geram. Pesawat yang ia
rangkai susah payah itu tak pernah diterbangkan lagi, namanya hanya berjaya
pada tahun penerbangannya saja.
”17 ribu pulau, Ainun. 17 ribu. Kau bisa bayangkan bagaimana kalau pesawat ini kemudian menghubungkan seluruh bagian Indonesia. Murah. Aman. Berapa banyak infrastruktur yang bisa berkembang, ekonomi yang mekar, bangsa ini bisa menjadi bangsa yang mandiri, tapi mereka tidak pernah percaya.”
Film ini seperti mengajak saya untuk tidak tinggal diam
sebagai generasi muda. Karena Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tetapi
mereka yang mau berusaha dan berkarya lah yang dibutuhkan. Kalau saya adalah
remaja yang dipersiapkan untuk menjadi pilar bangsa sepuluh tahun lagi, kenapa
saya tidak mulai dari sekarang saja...?
Terlepas dari segala kekurangannya, kisah Habibie Ainun
berhasil mengajarkan saya akan kesetiaan dan ketulusan cinta yang tiada akhir.
Habibie tidak akan menjadi Habibie yang sekarang tanpa Ainun. Pada akhirnya, di
balik pria sukses pasti ada wanita hebat di sampingnya.
Sekian review dari saya. Semoga bermanfaat !!!
MEGA GR5 Titanium 3.4.0 review - TITanium-arts
ReplyDeleteI've been looking for MEGA titanium athletics GR5 titanium mug Titanium 3.4.0 for a long titanium chainmail time now. citizen titanium dive watch this is an R30 edc titanium version of the Genesis Classic Edition.